Seni tradisional Banjar
Seni tradisional Banjar adalah unsur kesenian yang menjadi
bagian hidup masyarakat dalam suku Banjar. Tradisional adalah aksi dan
tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang
terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah
karena ketidakmauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut.
Kultur budaya yang berkembang di Banjarmasin sangat banyak
hubungannya dengan sungai, rawa, dan danau, di samping pegunungan.
Tumbuhan dan binatang yang menghuni daerah ini sangat banyak
dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan mereka. Kebutuhan hidup mereka
yang mendiami wilayah ini dengan memanfaatkan alam lingkungan dengan
hasil benda-benda budaya yang disesuaikan. hampir segenap kehidupan
mereka serba religius. Di samping itu, masyarakatnya juga agraris,
pedagang dengan dukungan teknologi yang sebagian besar masih
tradisional.
Ikatan kekerabatan mulai longgar dibanding dengan masa yang lalu,
orientasi kehidupan kekerabatan lebih mengarah kepada intelektual dan
keagamaan. Emosi keagamaan masih jelas tampak pada kehidupan seluruh
suku bangsa yang berada di Kalimantan Selatan.
Urang Banjar mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan material
budaya yang berkaitan dengan relegi, melalui berbagai proses adaptasi,
akulturasi, dan asimilasi. Sehingga tampak terjadinya pembauran dalam
aspek-aspek budaya. Meskipun demikian pandangan atau pengaruh Islam
lebih dominan dalam kehidupan budaya Banjar, hampir identik dengan
Islam, terutama sekali dengan pandangan yang berkaitan dengan ketuhanan
(Tauhid), meskipun dalam kehidupan sehari-hari masih ada unsur budaya
asal, Hindu dan Buddha.
Seni ukir dan arsitektur tradisional Banjar tampak sekali pembauran
budaya, demikian pula alat rumah tangga, transportasi, tari, nyanyian,
dan sebagainya.
Masyarakat Banjar telah mengenal berbagai jenis dan bentuk kesenian,
baik Seni Klasik, Seni Rakyat, maupun Seni Religius Kesenian yang
menjadi milik masyarakat Banjar
Suku Banjar mengembangkan seni dan budaya yang cukup lengkap, walaupun pengembangannya belum maksimal, meliputi berbagai cabang seni.
Daftar isi
- 1 Seni Tari
- 2 Seni Karawitan
- 3 Lagu Daerah
- 4 Seni Rupa Dwimatra
- 5 Seni Rupa Trimatra (Rumah Adat)
- 6 Jukung Banjar
- 7 Wayang Banjar
- 8 Mamanda
- 9 Tradisi Bananagaan
- 10 Seni Tradisonal Banjar Berbasis Sastra (Folklor Banjar)
- 11 Rujukan
- 12 Pranala luar
Seni Tari
Seni Tari Banjar
terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan
istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari
kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa
(beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari
ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman Hindu, namun
gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi
dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak
sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya:
- Tari Baksa Kembang, dalam penyambutan tamu agung.
- Tari Baksa Panah
- Tari Baksa Dadap
- Tari Baksa Lilin
- Tari Baksa Tameng
- Tari Radap Rahayu
- Tari Kuda Kepang
- Tari Japin/Jepen
- Tari Tirik Kuala
- Tari Gandut
- Tari Tirik
- Tari Babujugan
- Tari Jepen Lenggang Banua
- Tari Japin Hadrah
- Tari Kambang Kipas
- Tari Balatik
- Tari Parigal Amban
- Tari Tameng Cakrawati
- Tari Alahai Sayang
Seni Karawitan
Gamelan Banjar
- Gamelan Banjar Tipe Keraton
- Gamelan Banjar Tipe Rakyatan
Lagu Daerah
Lagu daerah Banjar yang terkenal misalnya :
- Ampar-Ampar Pisang
- Sapu Tangan Babuncu Ampat
- Paris Barantai
- Lagu Banjar lainnya
- Daftar penyanyi lagu-lagu Banjar
- Daftar pencipta lagu-lagu Banjar
- Timang Banjar (Malaysia)
- Banjarmasin (Melayu Deli)
Seni Rupa Dwimatra
Seni Anyaman
Seni anyaman dengan bahan rotan, bambu dan purun sangat artistik. Anyaman rotan berupa tas dan kopiah.
Seni Lukisan Kaca
Seni
lukisan kaca berkembang pada tahun lima puluhan, hasilnya berupa
lukisan buroq, Adam dan Hawa dengan buah kholdi, kaligrafi masjid dan
sebagainya. Ragam hiasnya sangat banyak diterapkan pada perabot berupa
tumpal, sawstika, geometris, flora dan fauna.
Seni Tatah/Ukir
Seni ukir terdiri atas tatah surut (dangkal) dan tatah babuku (utuh).
Seni ukir diterapkan pada kayu dan kuningan. Ukiran kayu diterapkan
pada alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid,
bagian-bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan
diterapkan benda-benda kuningan seperti cerana, abun, pakucuran, lisnar,
perapian, cerek, sasanggan, meriam kecil dan sebagainya. Motif ukiran misalnya Pohon Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal, kawung, geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.
Pencak Silat Kuntau Banjar
Pencak Silat Kuntau Banjar adalah ilmu beladiri yang berkembang di Tanah Banjar dan daerah perantauan suku
Seni Rupa Trimatra (Rumah Adat)
Rumah adat Banjar ada beberapa jenis, tetapi yang paling menonjol adalah Rumah Bubungan Tinggi
yang merupakan tempat kediaman pangeran/raja (keraton). Jenis rumah
yang ditinggali oleh seseorang menunjukkan status dan kedudukannya dalam
masyarakat. Jenis-jenis rumah Banjar:
- Rumah Bubungan Tinggi, kediaman raja
- Rumah Gajah Baliku, kediaman saudara dekat raja
- Rumah Gajah Manyusu, kediaman "pagustian" (bangsawan)
- Rumah Balai Laki, kediaman menteri dan punggawa
- Rumah Balai Bini, kediaman wanita keluarga raja dan inang pengasuh
- Rumah Palimbangan, kediaman alim ulama dan saudagar
- Rumah Palimasan (Rumah Gajah), penyimpanan barang-barang berharga (bendahara)
- Rumah Cacak Burung (Rumah Anjung Surung), kediaman rakyat biasa
- Rumah Tadah Alas
- Rumah Lanting, rumah di atas air
- Rumah Joglo Gudang
- Rumah Bangun Gudang
Jukung Banjar
Erik Petersen telah mengadakan penelitian tentang jukung Banjar dalam bukunya Jukungs Boat From The Barito Basin, Borneo. Jukung adalah transportasi khas Kalimantan.
Ciri khasnya terletak pada teknik pembuatannya yang mempertahankan
sistem pembakaran pada rongga batang kayu bulat yang akan dibuat menjadi
jukung.[1][2][3][4][5]
Jenis Jukung:
- Jukung Sudur (rangkaan)
- Jukung Patai
- Jukung Batambit
Jenis perahu lainnya misalnya :
Wayang Banjar
Wayang Banjar terdiri dari :
- Wayang kulit Banjar
- Wayang gung/wayang Gong yaitu (wayang orang versi suku Banjar
Mamanda
Mamanda merupakan seni teater tradisonal suku Banjar.
Tradisi Bananagaan
Seni Tradisonal Banjar Berbasis Sastra (Folklor Banjar)
Lamut
Madihin
Etimologi dan definisi
Madihin berasal dari kata madah dalam bahasa Arab artinya nasihat, tapi bisa juga berarti pujian. Puisi rakyat anonim bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar
di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan
sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari
khasanah di luar folklor Banjar.
Tajuddin Noor Ganie
(2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut : puisi
rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam
bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai
dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel.
Bentuk fisik
Masih menurut Ganie
(2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun
berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah.
Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik
persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b
atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada
yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan
semua baitnya saling berkaitan secara tematis.
Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim berbahasa Banjar
yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara
dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4
orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.
Status Sosial dan Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan
Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin)
yang digelar dalam rangka memperingati hari-hari besar kenegaraan,
kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu
agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan,
pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara
adat membayar hajat (kaul, atau nazar).
Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan.
Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari
nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh
seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam hal mengolah kata sesuai
dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan
secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat
(bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah
vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan
publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin,
(5) terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin
(menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.
Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain
dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan
melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel.
Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam
seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin
bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa
kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan
hadiah uang bernilai jutaan rupiah.
Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif
yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman
etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga
tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar
daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya
dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah
(berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah,
berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi calo atau makelar),
tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca
berkesenian).
Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat
hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik relatif tinggi
frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap cukup
besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di
antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada
sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang
tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan
kaset, VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah besar.
Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum
begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang
Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar : Pinduduk).
Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu
juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan
peternakan.
Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel
Madihin
tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah Kalsel saja,
tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota besar di
tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI
di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin
humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota Banjarmasin
Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, dia ketika itu berkenan
memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon
Tralala. Selain Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain: Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.
Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin
Pada
zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia
mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi dirinya
dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin.
Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat
memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan.
Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat
mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya
hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah
yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi
sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin
kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan
darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang menjadi sumber asal usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari,
alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian
rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu
Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi
cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah
magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan
dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin.
Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar
dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh.
Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang
mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan,
Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang
diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu.
Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan
sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda
mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak
ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur
secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin
Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi
Etimologi dan Definisi
Secara etimologis, istilah peribahasa menurut Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari bahasa Sanksekerta pari dan bhasya, yakni bahasa (bhasya)yang yang disusun secara beraturan (pari). Etnis Banjar di Kalsel menyebut peribahasa dengan istilah paribasa (Hapip, 2001:137), istilah ini hampir sama dengan istilah paribasan dalam bahasa Jawa yang digunakan di DI Yogyakarta, Jateng, dan Jatim.
Menurut Tajuddin Noor Ganie (2006:1) dalam bukunya berjudul Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar
yang pola susunan katanya sudah tetap dengan merujuk kepada suatu
format bentuk tertentu (bersifat formulaik), dan sudah dikenal luas
sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara
samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan,
pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Berdasarkan karakteristik bentuk fisiknya, peribahasa Banjar menurut
Ganie (2006:1) dapat dipilah-pilah menjadi 2 kelompok besar, yakni :
- Peribahasa Banjar berbentuk puisi, terdiri atas :
- Peribahasa Banjar berbentuk kalimat, terdiri atas :
Perbedaan bentuk fisik antara peribahasa Banjar yang berbentuk puisi
dengan peribahasa Banjar yang berbentuk kalimat terletak pada jenis gaya
bahasa yang dipergunakannya. Peribahasa berbentuk puisi mempergunakan
gaya bahasa perulangan, sementara peribahasa berbentuk kalimat
mempergunakan gaya bahasa perbandingan, pertautan, dan pertentangan.
Simpulan
Berdasarkan
paparan dan contoh-contoh di atas, maka dapat disimpulkan semua
ragam/jenis peribahasa Banjar berbentuk puisi, setidak-tidaknya memiliki
salah satu dari 3 ciri karakteristik bentuk, yakni :
- adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama,
- adanya kosa-kata yang hampir sama secara morfologis, dan
- adanya kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, di tengah, atau di akhir baris/larisk. Ciri-ciri karakteristik bentuk yang demkian itu identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi).
Pantun Banjar
Etimologi, Definisi, dan Bentuk Fisik
Pantun merupakan pengembangan lebih lanjut dari Peribahasa Banjar. Istilah pantun sendiri menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).
Sesuai dengan asal usul etimologisnya yang demikian itu, maka pantun
memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang disusun sedemikian rupa
dengan merujuk kepada sejumlah kriteria konvensional menyangkut bentuk
fisik dan bentuk mental puisi rakyat anonim.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam
hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini, yakni : (1) setiap
barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah, (2) jumlah baris
dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris (pantun
biasa dan pantun berkait), (3) pola formulaik persajakannya merujuk
kepada sajak akhir vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a,
a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait), (4) khusus untuk
pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi, (5)
khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus
sampiran dan baris 3-4 berstatus isi, dan (6) lebih khusus lagi, pantun
berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang
berstatus sampiran.
Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama
yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik
biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4
merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi
ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun
mulia dan pantun tak mulia.
Disebut pantun mulia
jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara
fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia
adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan
isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi
pantun di larik 3-4.
Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi
lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah
sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak
akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.
Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasanah pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun.
Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan
puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik local genius
bangsa Indonesia sendiri.
Istilah pantun tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor Banjar).
Dalam definisi yang sederhana pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie
(2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental
tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah
folklor Banjar.
Fungsi Sosial Pantun Banjar
Pada
masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak
hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga
difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga
para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan
menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan
piawai pula dalam membacakannya.
Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang
secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun
(bahasa Banjar Pamantunan).
Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan
langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling
bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para
Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan
dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata,
tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
Status Sosial Pamantunan
Pamantunan
merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara
mandiri dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengolah kosa-kata
berbahasa Banjar sehingga dapat dijadikan sebagai sarana retorika yang
fungional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh
seorang Pamantunan, yakni : (1) terampil mengolah kosa-katanya sesuai
dengan tuntutan yang berlaku dalam struktur bentuk fisik pantun Banjar,
(2) terampil mengolah tema dan amanat yang menjadi unsur utama bentuk
mental pantun Banjar, (3) terampil mengolah vokal ketika menuturkannya
sebagai sarana retorika yang fungsional di depan khalayak ramai, (4)
terampil mengolah lagu ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang
fungsional, (5) terampil dalam hal olah musik penggiring penuturan
pantun (menabuh gendang pantun), dan (6) terampil dalam menata
keserasian penampilannya sebagai seorang Pamantunan.
Datu Pantun, Pulung Pantun, dan Aruh Pantun
Tuntutan
profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi oleh seorang Pamantunan
membuatnya tergoda untuk memperkuat tenaga kreatifnya dengan cara-cara
yang bersifat magis, akibatnya, profesi Pamantunan pada zaman dahulu
kala termasuk profesi kesenimanan yang begitu lekat dengan dunia mistik.
Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan Pamantunan ketika itu
untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya
dengan kekuatan supranatural yang disebut Pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang
diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat Pulung inilah seorang
Pamantunan dapat mengembangkan bakat alam dan intelektualitasnya hingga
ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel
dapat menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung hanya diberikan
kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara genetika masih
mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Pantun adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam
Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal
para dewa kesenian rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai orang pertama
yang secara geneologis menjadi cikal bakal pantun di kalangan etnis
Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah
magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan Pulung
dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni
Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan pada malam-malam gelap tanggal 21,
23, 25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Pantun diundang berhadir dengan cara membakar dupa dan
memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam
kampung, dan minyak likat baboreh secukupnya. Jika Datu Pantun berkenan
memenuhi undangan, maka Pamantunan yang bersangkutan akan kesurupan
(trance) selama beberapa saat. Sebaliknya, jika Pamantunan tak kunjung
kesurupan itu berarti mandatnya sebagai seorang Pamantunan sudah dicabut
oleh Datu Pantun. Tidak pilihan baginya kecuali mundur secara teratur
dari panggung Baturai Pantun (pensiun).
Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib Buruk
Pada
zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi menjadi
puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak ada
lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu
kreativitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh
daerah Kalsel.
Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan
pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset (bahasa Banjar
Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana
retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau
dalam naskah-naskah tausiah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000
yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk
menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang
fungsional (bukan sekadar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar
pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan
informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah,
melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun
radio milik pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif
mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah
yang ada di seantero daerah Kalsel. Tulisan saya di Wikipedia ini boleh
jadi termasuk salah satu usaha itu.
Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan
lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia.
Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara
Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi
dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan.
Sumber : https://id.wikipedia.or/wiki/Seni_tradisional_Banjar#Seni_Rupa_Trimatra_.28Rumah_Adat.29
Post a Comment