Anak berkebutuhan
khusus sering terlihat berbeda baik secara fisik maupun mental dan
sosial emosional. Mereka memiliki karakteristik khusus yang
mengakibatkan adanya penyesuaian-penyesuaian di berbagai bidang, agar
mereka tetap mendapatkan haknya yang sama dengan anak lain dan bahkan
penyesuaian tersebut harus dapat mengoptimalkan perkembangannya
sebagaimana layaknya anak-anak yang lain. Penyesuaian yang dimaksud
adalah penyesuaian lingkungan yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua
anak, penyesuaian kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan pendidik,
penyesuaian kegiatan pembelajaran, penyesuaian sarana dan prasarana
pembelajaran, dan penyesuaian teman-teman sebaya serta lingkungan
masyarakat.
Pendidik anak usia
dini di lembaga PAUD sebagai tangan kedua setelah orang tua di rumah,
masih banyak yang mengalami kesulitan dalam mengenali anak berkebutuhan
khusus dengan berbagai karakteristiknya, sehingga mengakibatkan sulitnya
anak-anak bekebutuham khusus ini diterima di lembaga PAUD untuk belajar
bersama dengan anak lain. Tentu ini sangat bertentangan dengan konsep
Pendidikan untuk Semua dan konsep Pendidikan Sedini Mungkin.
Perhatian terhadap
anak berkebutuhan khusus sudah terjadi cukup lama dan pada abad 16 mulai
terjadi perubahan sikap yang lebih positif terhadap masalah anak
berkebutuhan khusus ini, seperti rumah sakit di Paris mulai menyediakan
layanan bagi penderita gangguan emosinoal, mulai adanya manual abjad
yang pertama bagi penyandang tuli. Dr. Maria Montessori membuat metode
pembelajaran yang khusus bagi anak dengan keterbelakangan mental, Helen
Keller yang seorang buta memberikan perhatian khusus pada penyandang
cacat penglihatan, dan banyak lagi yang lainnya, yang mampu memberikan
inspirasi banyak orang tentang bagaimana memberikan perhatian pada para
penyandang cacat agar mereka dapat hidup sebagaimana layaknya orang
lain.
Penelitian
terakhir membuktikan bahwa 1 dari 100 kelahiran terdapat anak dengan
spektrum austima dengan tidak memandang latar belakang geografis,
budaya, ekonomi keluarga, dan pendidikan orang tua atau garis keturunan.
Hal-hal yang melatarbelakangi penyebab masih belum ditemukan, begitu
juga dengan keragaman spektrum yang disandang sangat bersifat spesifik
dan individual. Semua itu menuntut peningkatan pengetahuan dan wawasan
pendidik anak usia dini serta ketrampilan mendeteksi dan menangani
sedini mungkin. Oleh karena keunikan ini tidak dapat terdeteksi secara
jelas sebagaimana kecacatan secara fisik, maka tentu saja memerlukan
keterampilan khusus dalam mengobservasinya.
Anak-anak dengan
keterlambatan perkembangan secara fisik, mental, dan kognitif pun
sebetulnya banyak terdapat di berbagai negara, termasuk indonesia. Akan
tetapi, karena kultur budaya masyarakat terutama yang hidup di pelosok
daerah hars menyembunyikan anak-anak tersebut, hanya 'dipelihara' tanpa
stimulasi edukasi. Kalaupun pemikiran masyarakat di pelosok desa sudah
terbuka bahwa anak-anak tersebut harus mendapat pendidikan yang layak
guna kelangsungan kemandirian kehidupan mereka, belum banyak lembaga
pendidikan yang siap menerima kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus.
Untuk Lebih Lengkapnya Download di sini <<Mengenal ABK di TK/PAUD>>
Sumber : http://kurikulumpaud.blogspot.com/2013/11/anak-berkebutuhan-khusus-abk.html